Selasa, 07 Agustus 2012

Kualitas dan Hasil Pembelajaran


*      Kualitas dan Hasil Pembelajaran
Dalam batas-batas tertentu manusia dapat belajar dengan sendirinya, namun dalam batas-batas tertentu manusia dalam belajar memerlukan bantuan pihak lain. Hadirnya pihak lain dalam pembelajaran dimaksudkan agar belajar menjadi lebih mudah, lebih efektif, lebih efisien dan mengarah pada tujuan, upaya inilah yang dimaksud dengan pembelajaran. Pembelajaran yang baik belum dapat menjamin baiknya prestasi belajar, masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas hasil belajar, diantaranya adalah peserta didik itu sendiri. Hakekatnya pembelajaran secara umum dilukiskan Gagne sebagai upaya yang tujuannya adalah membantu orang belajar. Peristiwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik secara aktif berinteraksi dengan sumber belajar yang diatur oleh guru. Dalam interaksi pembelajaran tersebut, setiap peserta didik diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat, yang minat dan potensinya perlu diwujudkan secara optimal.
Kualitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh metode pembelajaran yang dilakukan yaitu strategi pengorganisasian pembelajaran makro dan mikro, strategi penyampaian pembelajaran, serta strategi pengelolaan pembelajaran di bawah kondisi yang ada yaitu karakteristik tujuan, karakteristik isi, kendala, dan karakteristik peserta didik. Hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi yang berbeda. Efek ini bisa berupa efek yang disengaja dirancang oleh sebab itu merupakan efek yang diinginkan, dan juga berupa efek nyata sebagai hasil penggunaan metode pembelajaran tertentu.
Bila acuan pembelajaran adalah pada efek atau hasil pembelajaran yang diinginkan, maka hasil ini harus ditetapkan lebih dahulu sebelum menetapkan metode pembelajaran. Langkah ini akan terbalik, apabila acuan pembelajaran adalah pada efek atau hasil pembelajaran yang nyata (actual) maka metode pembelajaran yang akan dipakai ditetapkan lebih dahulu, selanjutnya mengamati hasil pembelajaran sebagai akibat dari penggunaan metode di bawah kondisi pembelajaran yang ada. Pada tingkat yang amat umum sekali, hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) keefektifan (effectivenees) (2) efesiensi (efficiency), dan daya tarik (appeal).
Keefektifan Pembelajaran, biasanya diukur dengan tingkat pencapaian si-belajar. Ada 4 aspek penting yang dapat dipakai untuk mempreskripsikan keefektifan pembelajaran yaitu:
1.      kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari atau sering disebut tingkat kesalahan
2.      kecepatan unjuk kerja
3.      tingkat alih belajar
4.      tingkat retensi dari apa yang dipelajari.
Efisiensi Pembelajaran, biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan dan jumlah waktu yang dipakai si-belajar dan/atau jumlah biaya pembelajaran yang digunakan. Daya Tarik Pembelajaran, biasanya diukur dengan mengamati kecenderungan si-belajar untuk tetap/terus belajar. Daya tarik pembelajaran erat kaitannya dengan daya tarik bidang studi, dimana kualitas pembelajaran biasanya akan mempengaruhi keduanya. Itulah sebabnya pengukuran kecenderungan si belajar untuk terus dan atau tidak terus belajar dapat dikaitkan dengan proses pembelajaran itu sendiri atau dengan bidang studi.

Macam-macam dan Kriteria memilih Sumber Belajar


*      Macam-macam sumber pembelajaran
1.      Sumber belajar yang dimanfaatkan
Sumber belajar yang tidak secara husus dipersiapkan untuk keperluan instruksional tetapi telah tersedia/dapat diperoleh karena memang sudah ada di alam dan lingkungan sekitar,serta dapat digunakan untuk kepentingan belajar pembelajaran dalam mencapai tujuan pendidikan.
2.      Sumber belajar yang dirancang
Sumber belajar yang secara khusus dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional,dalam rangka mempermdah tindak pembelajaran secara formal,untuk mencapai tujuan pendidikan.
*      Kriteria memilih sumber belajar
Pemilihan  sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional, dan bisa langsung dinyatakan bahan ajar apa yang digunakan. Misalnya,  sumber belajar dalam silabus dituliskan buku referensi, dalam RPP harus dicantumkan bahan ajar yang sebenarnya.
Jika menggunakan buku, maka harus ditulis judul buku teks tersebut, pengarang, dan halaman yang diacu. Jika menggunakan bahan ajar berbasis ICT, maka harus ditulis nama file, folder penyimpanan, dan bagian atau link file yang digunakan, atau alamat website yang digunakan sebagai acuan pembelajaran.
Departemen Pendidikan Nasional (2008), Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran,
Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kom­petensi. Kriteria yang harus dipenuhi oleh sumber belajar agar dapat menjadi acuan belajar adalah:
1.      Ekonomis : sumber belajar tidak harus terpatok pada harga yang mahal.
2.      Praktis : tidak memerlukan pengelolahan yang rumit dan tidak boleh langka. Jika sumber pembelajaran dalam pengelolahannya cukup rumit maka akan menurunkan motivasi pengguna sumber belajar.
3.      Mudah : sumber pembelajaran harus dekat dan dapat diakses dengan mudah oleh pengguna media pembelajaran.
4.      Flexible : sumber pembelajaran harus dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional.
5.      Sesuai dengan tujuan : sumber pembelajaran harus dapat mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar yang ingin dicapai, serta dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.
6.      Sumber pembelajaran sesuai dengan taraf berfikir dan kemampuan peserta ajar.
7.      Penyampai sumber pembelajaran ( Guru ) harus memiliki kemampuan dan trampil dalam pengelolahannya.

Pengajaran terhadap retardasi mental


Seorang anak dengan retardasi mental selalu akan menghadapi persoalan baik yang berasal dari dirinya, keluarganya maupun masyarakat di sekitarnya. Kurangnya kemampuan intelektual dan penyesuaian diri anak menyebabkan anak kurang mampu bergaul dengan teman- teman sebayanya sehingga anak sering dipencilkan dari pergaulan teman-teman seumurnya akibatnya anak bergaul atau bermain dengan teman-teman yang lebih muda atau mengurangi kegiatannya sampai menarik diri dari pergaulan.
Orang tua atau keluarga sering kecewa terhadap kemampuan penderita sehingga akhirnya bersikap menolak. Akibat sikap penolakan ini, penderita mengalami kekurangan kasih sayang dan perhatian padahal justru penderita dengan retardasi mental lebih membutuhkan pengertian yang mendalam dan perhatian dari orang tua yang melebihi anak normal. Akibatnya anak sering mengalami ketegangan, kesedihan, kebingungan, karena kurangnya bimbingan atau tuntunan yang jelas. Hal ini sering menyebabkan anak melakukan tindakan kriminil karena adanya rasa penolakan orang tua dan kurangnya pengertian memilih hal-hal yang baik dan buruk serta kurangnya kemampuan mengontrol diri sendiri.
Kurangnya kepandaian, ketrampilan, kemampuan bersaing serta daya penyesuaian diri menyebabkan sukarnya menempatkan anak dalam masyarakat sehingga mereka sukar mendapatkan sekolah atau pekerjaan yang layak. Hal ini juga merupakan faktor predisposisi untuk melakukan tindakan kriminil, karena anak merasa ditolak oleh masyarakat juga
Bagi anak terbelakang diperlukan pendidikan khusus yang sesuai dengan derajat keterbelakangannya, misalnya pendidikan luar biasa bagi anak tergolong debil dan imbesil ringan dan sedang. Retardasi mental tingkat perbatasan (subnormal) masih dapat mengikuti Sekolah dasar biasa, sedangkan retardasi mental tingkat berat dan sangat berat tidak dapat mengikuti pendidikan luar biasa; yang diperlukan bagi mereka hanya latihan untuk dapat merawat diri sendiri dan mempunyai kemampuan bergaul dengan anak lain, pelajaran membaca dan berhitung boleh dihilangkan. Tujuan dari Sekolah Luar Biasa tidak berbeda dengan tujuan sekolah untuk anak normal, yakni melatih belajar membaca dan berhitung disertai dengan mengembangkan ketrampilan hubungan sosial anak, ketrampilan tangan sesuai dengan bakat anak dan latihan tanggung jawab dalam masyarakat.
Pengajaran terhadap anak dengan retardasi mental :
1. Membantu anak  untuk berlatih menentukan pilihan personal.
2. Sesuaikan instruksi pengajaran dengan kebutuhan si anak.
3. Sebagaimana halnya mengajar anak yang mengalami ketidak mampuan lainnya, berilah contoh konkret dari satu konsep, Gunakan instruksi pengajaran yang jelas dan sederhana.
4. Beri anak Retardasi Mental kesempatan untuk melatih apa-apa yang telah mereka pelajari. minta  mereka mengulangi beberapa kali konsep yang telah mereka pelajari tadinya sampai mereka menguasainya.
5. Perhatikan rasa penghargaan diri si anak. Dalam maksud, jangan membanding-bandingkan dengan anak yang tidak mengalami retardasi mental.
6. Jangan berprasangka negatif terhadap kemampuan belajar anak. Biasanya kita mudah tergoda untuk menggangap anak retardasi mental itu sebagai anak yang tidak bisa berprestasi baik itu secara akademik
7. Sadari bahwa banyak anak dengan retardasi mental bukan hanya memiliki kebutuhan akademik, tetapi juga membutuhkan bantuan untuk meningkatkan keterampilan perawatan diri dan keterampilan sosial.
8. Cari dukungan sumber daya. Gunakan asisten guru dan rekrut sukarelawan untuk membantu anada mendidikan anak yang retardasi mental. Banyak orang dewasa yang terdidik yang sudah pensiun mungkin mau membantu, Mereka dapat membantu anda untuk meningkatkan jumlah instruksi kepada anak.
9. Libatkan orangtua sebagai mitra mendidik anak.

Ciri-ciri Retardasi Mental


Ciri-ciri tingkatan Retardasi mental
1. Retardasi mental sangat berat = Idiot. IQ 0 — 19.
Ciri-cirinya : Tak dapat dilatih dan dididik
— tidak dapat merawat dirinya sendiri. makan harus disuap. Mandi dan berpakaian harus ditolong.
— tidak mengenal bahaya, tak dapat menjaga diri terhadap ancaman fisik.
— pergerakan motorik biasanya terganggu, pergerakan kaku atau spastis.
— biasanya didapatkan kelainan kongential misalnya bentuk kepala abnormal, kelainan fisik pada badan anggota badan seperti badan kecil, bungkuk; bentuk tangan abnormal jari kelingking bengkok (mongolism).
— perkembangan fisik (duduk, jalan) dan bicara terlambat. Sering tak dapat diajar berbicara, bicara hanya 1 suku kata saja (ma,pa).
— mudah terserang penyakit lain, misalnya tbc, infeksi lain..
2. Retardasi mental berat = Imbicile berat. IQ 20-35.
Ciri-cirinya : dapat dilatih dan tak dapat dididik.
— dapat dilatih merawat dirinya sendiri; makan, mandi dan berpakaian sendiri.
— kadang-kadang masih dapat mengenal bahaya dan menjaga dirinya.
— pergerakan motorik biasanya masih terganggu, pergerakan kaku dan spastis.
— biasanya masih didapatkan kelainan kongenital.
— perkembangan fisik dan berbicara masih terlambat.
— masih mudah terserang penyakit lain.

3. Retardasi mental sedang = Imbecile ringan. IQ 35—50.
Ciri-cirinya : Dapat dilatih dan dapat dididik (Trainable & Educable) sampai ke taraf kelas II - III SD.
— dapat dilatih merawat dirinya sendiri misalnya : makan, mandi dan berpakaian sendiri.
— mengenal bahaya dan dapat menyelamatkan diri.
— koordinasi motorik biasanya masih sedikit terganggu.
biasanya masih didapatkan kelainan kongenital.
— dapat dilatih pekerjaan yang sederhana dan rutin misalnya : menyapu, mencuci piring, membersihkan rumah dsb.
— bisa menghitung 1 - 20, mengetahui macam-macam warna dan membaca beberapa suku kata.
— perkembangan fisik dan berbicara masih terlambat.
— sering tersangkut perkara kriminilkarena mudah disugesti dan penilaian terhadap baik dan buruknya suatu hal masih kurang.
4. Retardasi mental ringan = Debil. IQ 52—67.
Ciri-cirinya : dapat dilatih dan dididik.
— dapat merawat dirinya dan melakukan semua pekerjaan di rumah.
— dalam keadaan cocok dapat mencari nafkah - tetapi tak dapat bersaing dengan orang lain dan tak dapat mengurus pekerjaannya dengan bijaksana, sehingga bila ada penghematan tenaga kerja, penderita diberhentikan lebih dahulu.
— tidak dapat dididik di sekolah biasa tetapi harus di lembaga istimewa atau Sekolah Luar Biasa.
— pada saat menginjak Taman Kanak-kanak belum tampak kekurangannya, sesudah menginjak Sekolah Dasar tampakkurang kepandaiannya, sehingga sukar untuk naik kelas (kelas I SD - 3 tahun).
— tak dapat berfikir secara abstrak, hanya hal-hal konkrit yang dapat difahami.
— kurang dapat membedakan hal-hal yang penting dan remeh atau hal-hal yang baik dan buruk, sehingga mudah tersangkut perkara kriminil. Oleh karena itu perlu pengawasan orang tua dalam melakukan aktivitasnya.
— koordinasi motorik tidak mengalami gangguan.
— kelainan kongenital biasanya tidak didapatkan.
— perkembangan fisik biasanya normal tetapi perkembangan bicara biasanya masih terlambat (biasanya bicara kurang sempurna dan perbendaharaan kata-kata kurang).
5. Retardasi mental taraf perbatasan = Subnormal = Border-line. IQ 68-85.
Ciri-cirinya :
— dapat dididik di sekolah biasa, meskipun tiap kelas dicapai dalam 2 tahun.
— dapat berfikir secara abstrak.
— dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk.

Retardasi Mental


Retardasi mental adalah keadaan dimana fungsi intelektual umum berada di bawah normal dan dimulainya selama masa perkembangan individu yang berhubungan dengan terbatasnya kemampuan belajar dan daya penyesuaian diri.
Klasifikasi retardasi mental menurut Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ/DSM II 1968) adalah :
1. Retardasi mental taraf sangat berat = Idiot (IQ 0-19).
2. Retardasi mental taraf berat = Imbecile berat (IQ 20-35).
3. Retardasi mental sedang = Imbecile ringan (IQ 36-51).
4. Retardasi mental taraf ringan = Debil (IQ 52-67).
5. Retardasi mental taraf perbatasan = Subnormal (IQ 68- 85).

Kebanyakan retardasi mental baru diketahui pada masa sekolah dan frekuensi terbanyak memang didapatkan pada golongan retardasi mental taraf perbatasan (subnormal), urutan kemudian adalah golongan taraf ringan (debil) sedangkan golongan taraf berat dan sangat berat yang paling sedikit didapatkan. Penilaian anak terus-menerus dilakukan pada masa sekolah maka golongan subnormal dan debil baru tampak gejalanya bila anak sudah mulai sekolah. 

Monkey Drugs Trial


Monkey Drug Trials 1969
While animal experimentation can be incredibly helpful in understanding man, and developing life saving drugs, there have been experiments which go well beyond the realms of ethics. The monkey drug trials of 1969 were one such case. In this experiment, a large group of monkeys and rats were trained to inject themselves with an assortment of drugs, including morphine, alcohol, codeine, cocaine, and amphetamines. Once the animals were capable of self-injecting, they were left to their own devices with a large supply of each drug.
The animals were so disturbed (as one would expect) that some tried so hard to escape that they broke their arms in the process. The monkeys taking cocaine suffered convulsions and in some cases tore off their own fingers (possible as a consequence of hallucinations), one monkey taking amphetamines tore all of the fur from his arm and abdomen, and in the case of cocaine and morphine combined, death would occur within 2 weeks.
The point of the experiment was simply to understand the effects of addiction and drug use; a point which, I think, most rational and ethical people would know did not require such horrendous treatment of animals.

Pada penggunaan hewan coba, ada berbagai hal yang harus diperhatikan para peneliti.Ada kalanya para peneliti menggampangkan bahwa yang digunakan hanyalah hewan.Namun inilah yang sering dilupakan, hewan juga punya hak untuk tidak merasa sakit,dan terbebas dari penyiksaan. Sehingga jika harus menggunakan hewan coba, gunakan seminimal mungkin untuk hasil yang maksimal. Selain itu kita juga tidak boleh menyiksa terlalu lama. Untuk itu, sebelum melakukan penelitian dengan hewan coba,seorang peneliti harus benar-benar paham metode yang akan digunakan sehingga proses penelitiannya bisa berlangsung seefisien mungkin. Jika menggunakan hewan cobamaka peneliti harus mempertimbangkan sejak dini dalam perancangan penelitiannya agar mematuhi peraturan yang berlaku dan mendapatkan persetujuan dari komisi etika riset yang terkait.
Hewan percobaan akan mengalami berbagai keadaan luar biasa yang menyebabkanpenderitaan, seperti rasa nyeri, ketidaknyamanan, ketidaksenangan, dan pada akhirnya kematian. Sebagai bangsa yang beradab hewan perobaan yang menderita untuk kebaikan manusia wajib dihormati hak azazinya dan diperlukan secara manusiawi.
Penelitian dengan hewan coba haruslah hewan yang dipilih untuk penelitian harus sesuai spesies dan mutunya, serta jumlahnya hendaknya sekecil mungkin, namun hasil penelitiannya absah secara ilmiah. Peneliti dan tenaga kerja lainnya harus memperlakukan hewan percobaan sebagai makhluk perasa, memperhatikan pemeliharaan dan pemanfaatannya, serta memahami cara mengurangi penderitaannya. Pada akhir penelitian bahkan pada waktu dilakukan percobaan, hewan yang menderita nyeri hebat atau terus menerus atau menjadi cacat yag tidak dapat dihilangkan harus dimatikan tanpa rasa nyeri.
Dalam penelitian hewan percobaan untuk penelitian kesehatan digunakan prinsip 3R, yaitu Replacement, Reduction, dan Refinement (Hume dan Russel, 1957). Prinsip dasar yang dilanggar oleh penelitian ini adalah prinsip yang ketiga, yaitu Refinement. Refinement adalah mengurangi ketidak nyamanan yang diderita oleh hewan percobaan sebelum,selama, dn setelah penelitian, misalnya dengan pemberian analgetik. Monyet-monyet dalam penelitian ini dibiarkan mengalami kesakitan hingga mati tanpa adanya pemberian obat.
Dasar hukum penelitian hewan coba antara lain UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 69 ayat 1 yang berbunyi:
“Penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkanilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam rangka meningkatkanderajat kesehatan.”
UU no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 44 ayat 4 yang berbunyi:
“Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebutserta mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia”
Jadi, hewan coba yang dipilih harus dipilih dengan mengutamakan hewan dengan sensitivitas neurofisiologik yang paling rendah dan hewan yang paluing rendah dalam skala evolusi. Keberhati-hatian yang wajar harus diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan dan kesehatan hewan yang digunakan dalam penelitian harus dihormati. 

Remaja


Remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa, dimana  timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapainya fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif. Untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan Biofisikopsikososial. Proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda. Selama perkembangan menuju dewasa, tubuh berkembang secara terus menerus. Keseluruhan frekuensi perubahan terjadi dengan cepat sebelum lahir, selama masa bayi, dan saat pubertas.
Masa pubertas adalah terjadinya perubahan biologis yang meliputi morfologi dan fisiologi yang terjadi dengan pesat dari masa anak kemasa dewasa, terutama kapasitas reproduksi yaitu perubahan alat kelamin dari tahap anak kedewasa.
Perubahan fisik pubertas dimulai sekitar usia 10 atau 11 tahun pada remaja putri, kira-kira 2 tahun sebelum perubahan pubertas pada remaja laki-laki. Kematangan seksual dan terjadinya perubahan bentuk tubuh sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja, sementara itu perhatian remaja sangat besar terhadap penampilan dirinya sehingga mereka sering merisaukan bentuk tubuhnya yang kurang proporsional tersebut. Apabila mereka sudah dipersiapkan dan mendapatkan informasi tentang perubahan tersebut maka mereka tidak akan mengalami kecemasan dan reaksi negatif lainnya, tetapi bila mereka kurang memperoleh informasi, maka akan merasakan pengalaman yang negatif.
Menurut WHO sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di negara sedang berkembang. Data demografi di Amerika Serikat menunjukkan jumlah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 15 % populasi. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60 % dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10 – 19 tahun. Di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik kelompok umur 10 – 19 tahun adalah sekitar 22 % yang terdiri dari 50,9 % remaja laki-laki dan 49,1 % remaja perempuan.
Remaja mengalami puncak emosionalitasnya, perkembangan emosi tingkat tinggi. Perkembangan emosi remaja awal menunjukkan sifat sensitif, reaktif yang kuat, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung, marah, sedih, dan murung). Sedangkan remaja akhir sudah mulai mampu mengendalikannya. Remaja yang berkembang di lingkungan yang kurang kondusif, kematangan emosionalnya terhambat. Sehingga sering mengalami akibat negatif berupa tingkah laku yang tidak sesuai, misalnya ;
1) Agresif : melawan, keras kepala, berkelahi, suka menggangu dan lain-lainnya
2) Lari dari kenyataan (regresif) : suka melamun, pendiam, senang menyendiri, mengkonsumsi obat penenang, minuman keras, atau obat terlarang
Sedangkan remaja yang tinggal di lingkungan yang kondusif dan harmonis dapat membantu kematangan emosi remaja menjadi :
1) Adekuasi (ketepatan) emosi : cinta, kasih sayang, simpati, altruis (senang menolong), respek (sikap hormat dan menghormati orang lain), ramah, dan lain-lainnya
2) Mengendalikan emosi : tidak mudah tersinggung, tidak agresif, wajar, optimistik, tidak meledak-ledak, menghadapi kegagalan secara sehat dan bijak
Kematangan emosi dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun luar diri remaja. Faktor yang berasal dari luar diri individu disebut faktor eksternal, meliputi keluarga, latar belakang sosial ekonomi, gender, teman sebaya, lingkungan sekolah, faktor realitas, dan proses pendidikan. Faktor yang berasal dari dalam diri individu disebut dengan faktor internal, meliputi inteligensi, bakat, minat, kepribadian, harga diri, dan nilai.Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi merupakan keberhasilan individu untuk mengontrol emosi sehingga sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dijalani.